Menyadari tingkat kekerasan yang terjadi di kalangan peserta didik makin tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengusulkan pen...
Menyadari tingkat kekerasan yang terjadi di kalangan peserta didik makin tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengusulkan penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Penanggulangan Perundungan atau bulliying.
Salah satu slide paparan Mendikbud tentang Penanggulangan Perundungan
Rencana penerbitan Perpres itu, menurut Mendikbud dilatarbelakangi oleh pola penyelesaian masalah perundungan yang menimpa anak/peserta didik kurang sistematis. Biasanya, pola pendekatannya ada dua. Pertama, melihatnya sebagai kasus dan diselesaikan secara adat/kekeluargaan. Kedua, melihatnya sebagai perkara hukum dan menyerahkannya kepada aparat penegak hukum. Pada poin kedua ini, biasanya ditindaklanjuti oleh Komisi Perlindungan Anak (KPA), dan angkanya cukup banyak.
“Nah kedepan, hal ini harus diselesaikan secara sistematis. Pemerintah tidak boleh lagi diam dan mendiamkan fenomena kekerasan yang ada di sekolah,” tegas Mendikbud.
Korban kekerasan, menurut Mendikbud ada dua, yaitu target (sasaran/obyek) kekerasan dan pelaku kekerasan itu sendiri. Dua-duanya adalah korban. Karena itu, kedua-duanya harus diintervensi.
Gambaran Isi Perpres Penanggulangan Perundungan
Menurut Mendikbud, secara garis besar isi Perpres Penanggulangan Perundungan ada tiga, yaitu Penanggulangan, Pemberian Sanksi, dan Pencegahan.
Selain itu, dalam Perpres itu juga akan dijelaskan tugas masing-masing pihak. Pertama, untuk sekolah diwajibkan memberikan papan informasi di halaman sekolahnya yang berisi tentang sekolah aman. Papan ini berukuran 80 x 120 cm, dan berisi himbauan agar tidak mendiamkan aksi perundungan. Selain itu, dalam papan itu disediakan nomor telepon sekolah, dinas pendidikan, polsek, polres, laman pengaduan kemendikbud, sms Kemendikbud, email Kemendikbud dan telepon Kemendikbud.
Kedua, guru dan kepala sekolah wajib lapor kepada orangtua jika ada dugaan kekerasan, baik itu di dalam sekolah maupun di luar sekolah. Untuk mendukung ini, akan ada Prosedur Operasi Standar (POS). Karena saat ini, banyak guru dan kepala sekolah yang tidak tahu apa yang harus dikerjakan saat mengetahui ada kekerasan di sekolahnya. Selain itu, di masing-masing sekolah harus ada tim pencegahan kekerasan, seperti komite sekolah.
Ketiga, menjamin hak siswa tetap memperoleh pendidikan.
“Karena seringkali kalau ada siswa bermasalah itu jalan pintasnya dikeluarkan. Padahal tanggung jawab kita adalah mendidik dua-duanya, baik pelaku atau targetnya,” ujar Mendikbud.
Keempat, sanksi untuk siswa, guru dan tenaga kependidikan. Sanksi ini termasuk pengurangan hak, pembebasan tugas, pemberhentian sementara sampai pemutusan hubungan kerja.
“Kenapa? Karena kita pernah mendengar berita luar biasa tentang seorang anak SD. Bukan karena kekerasan di sekolah, namun kekerasan itu ada di rumah. Namun, sekolah yang menyaksikan dari dekat fenomena itu, justru memilih diam dan mendiamkan. Sehingga anak yang harusnya sekolah, hari itu dikubur. Nah, andai dulu sekolah lebih cepat bertindak, atau melakukan sesuatu, mungkin peristiwa itu bisa dihindari. Jadi tanggung jawab sekolah itu tidak sekedar di pintu sekolah. Ketika mengetahui ada anak-anak yang mengalami tanda-tanda kekerasan, sekolah wajib lapor,” tegas Mendikbud.
Pelaporan sekolah itu ditujukan kepada pemerintah daerah yang dalam hal ini adalah dinas pendidikan. Karena itu, dinas pendidikan harus menyiapkan gugus pencegahan tindakan kekerasan permanen di daerahnya melalui APBD. Gugus ini terdiri dari guru, tenaga kependidikan, tokoh masyarakat, praktisi lainnya.
“Kemudian di tingkat pusat, yaitu Kemendikbud, disediakan kanal untuk menerima laporan ini semua. Nanti akan masuk dalam Dapodik. Karena kita berkeinginan agar kebiasaan-kebiasaan yang sudah menahun di sekolah itu bisa kita ubah bersama-sama,” pungkas Mendikbud.
Sumber: Dikdas, Kemdikbud
COMMENTS