Pembelajaran tematik terpadu dapat dilaksanakan dengan menggunakan berbagai model pembelajaran. Model adalah sesuatu yang direncanakan, ...
Pembelajaran tematik terpadu dapat dilaksanakan dengan menggunakan
berbagai model pembelajaran. Model adalah sesuatu yang direncanakan,
direkayasa, dikembangkan, diujicobakan, lalu dikembalikan pada badan yang
mendesainnya, kemudian diujicoba ulang, baru menjadi sesuatu yang final.
Melalui tahapan tersebut, maka suatu model dapat melaksanakan fungsinya
sebagaimana mestinya. Ilmiah, (George L. Gropper dan Paul A. Ross dalam Oemar
Hamalik, 2000).
Model, suatu struktur secara konseptual yang telah berhasil dikembangkan
dalam suatu bidang, dan sekarang diterapkan, terutama untuk membimbing
penelitian dan berpikir dalam bidang lain, biasanya dalam bidang yang belum
begitu berkembang, (Marx, 1976). Model adalah kerangka konseptual yang dipakai
sebagai pedoman dalam melakukan suatu
kegiatan.
Model pembelajaran merupakan suatu kerangka konseptual yang melukiskan
prosedur secara sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk
mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para
perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan
aktivitas pembelajaran, (Winataputra, 1996). Model pembelajaran berfungsi
sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pembelajar dalam
merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran.
Berikut ini akan dibahas beberapa
model
pembelajaran dari sekian model yang telah banyak dikembangkan, antara
lain: Model Pembelajaran Langsung, Model Pembelajaran Kooperatif, Pembelajaran
Kontekstual, Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing, Problem Based Learning.
1.
Model Pembelajaran Langsung (Direct Instruction)
Proses
pembelajaran langsung adalah proses pendidikan di mana peserta didik
mengembangkan pengetahuan, kemampuan berpikir dan keterampilan psikomotorik
melalui interaksi langsung dengan sumber belajar yang dirancang dalam silabus
dan RPP berupa kegiatan-kegiatan pembelajaran. Dalam pembelajaran langsung
tersebut peserta didik melakukan kegiatan belajar mengamati, menanya,
mengumpulkan informasi, mengasosiasi atau menganalisis, dan mengkomunikasikan
apa yang sudah ditemukannya dalam kegiatan analisis. Proses pembelajaran
langsung menghasilkan pengetahuan dan keterampilan langsung atau yang disebut
dengan instructional effect.
Ciri-ciri model pembelajaran langsung antara lain:
a.
Adanya
tujuan pembelajaran dan prosedur penilaian hasil belajar
b.
Sintaks
atau pola keseluruhan dan alur kegiatan pembelajaran
c.
Sistem
pengelolaan dan lingkungan belajar yang mendukung berlangsung dan berhasilnya
pengajaran
Sintaks
kegiatan pembelajaran langsung
Fase
|
Indikator
|
Peran Guru
|
1
|
Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa
|
Menjelaskan
tujuan , materi prasyarat, memotivasi dan mempersiapkan siswa
|
2
|
Mendemonstrasikan
pengetahuan dan ketrampilan
|
Mendemonstrasikan
ketrampilan atau menyajika informasi tahap demi tahap
|
3
|
Membimbing pelatihan
|
Memberikan
latihan terbimbing
|
4
|
Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik
|
Mengecek
kamampuan siswa dan memberi kan umpan balik
|
5
|
Memberikan
latihan dan penerapan konsep
|
Mempersiapkan
latihan untuk siswa dengan menerapkan konsep yang dipelajari pada kehidupan
sehari-hari
|
2. Model
Pembelajaran Kooperatif (Cooperative
Learning)
Ciri-ciri model
pembelajaran kooperatif antara lain:
a.
Untuk
menuntaskan materi belajar, siswa belajar dalam kelompok secara kooperatif
b.
Kelompok dibentuk
dari siswa-siswa yang memiliki kemampuan heterogen
c.
Jika dalam
kelas terdiri dari beberapa ras, suku, budaya, jenis kelamin yang berbeda, maka
diupayakan agar tiap kelompok berbaur
d. Penghargaan lebih diutamakan pada kerja kelompok
daripada perorangan
Tujuan :
a.
Hasil
Belajar Akademik
Meningkatkan
kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik
b.
Penerimaan
terhadap keragaman
Siswa dapat
menerima teman-temannya yang beraneka latar belakang..
c. Pengembangan ketrampilan sosial
Sintaks
kegiatan pembelajaran kooperatif
Fase
|
Indikator
|
Kegiatan Guru
|
1
|
Menyampaikan
tujuan dan memotivasi siswa
|
Menyampaikan
tujuan pelajaran yang ingin dicapai dan memotivasi siswa belajar
|
2
|
Menyajikan
informasi
|
Menyajikan
informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan
|
3
|
Mengorganisasikan
siswa ke dalam ke-lompok-kelompok belajar
|
Menjelaskan
kepada siswa bagaimana cara-nya membentuk kelompok dan membantru kelompok
agar melakukan transisi scr efisien
|
4
|
Membimbing
kelompok bekerja dan belajar
|
Membimbing
kelompok-kelompok belajat pa da saat mereka mengerjakan tugas
|
5
|
Evaluasi
|
Mengevaluasi
hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing
ke-lompok mempresentasekan hasil kerjanya
|
6
|
Memberikan
penghargaan
|
Mecari
cara untuk mengharga upaya atau ha sil belajar individu maupun kelompok
|
3.
Model Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning)
Pembelajaran Kontekstual mengasumsikan bahwa secara natural pikiran
mencari makna konteks sesuai dengan situasi nyata lingkungan seseorang melalui
pencarian hubungan masuk akal dan bermanfaat. Melalui pemaduan materi yang
dipelajari dengan pengalaman keseharian siswa akan menghasilkan dasar-dasar
pengetahuan yang mendalam. Siswa akan mampu menggunakan pengetahuannya untuk
menyelesaikan masalah-masalah baru dan belum pernah dihadapinya dengan
peningkatan pengalaman dan pengetahuannya. Siswa diharapkan dapat membangun
pengetahuannya yang akan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan
memadukan materi pelajaran yang telah diterimanya di sekolah.
Pembelajaran Kontekstual
merupakan satu konsepsi pengajaran dan pembelajaran yang membantu guru
mengaitkan bahan subjek yang dipelajari dengan situasi dunia sebenarnya dan
memotivasikan pembelajar untuk membuat kaitan antara pengetahuan dan
aplikasinya dalam kehidupan harian mereka sebagai ahli keluarga, warga
masyarakat, dan pekerja.
Pembelajaran Kontekstual adalah sebuah sistem belajar yang didasarkan
pada filosofi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap
makna dalam materi akademis yang mereka terima, dan mereka menangkap makna
dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengaitkan informasi baru dengan
pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya (Elaine B.
Johnson, 2007:14).
Dalam Pembelajaran Kontekstual, ada delapan komponen yang harus
ditempuh, yaitu: (1) Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, (2)
melakukan pekerjaan yang berarti, (3) melakukan pembelajaran yang diatur
sendiri, (4) bekerja sama, (5) berpikir kritis dan kreatif, (6) membantu
individu untuk tumbuh dan berkembang, (7) mencapai standar yang tinggi, dan (8)
menggunakan penilaian otentik (Elaine B. Johnson, 2007: 65-66).
Berdasarkan pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa Pembelajaran
Kontekstual adalah mempraktikkan konsep belajar yang mengaitkan materi yang
dipelajari dengan situasi dunia nyata siswa. Siswa secara bersama-sama
membentuk suatu sistem yang memungkinkan mereka melihat makna di dalamnya.
Pembelajaran Kontekstual
merupakan konsep belajar yang membantu para guru mengaitkan antara materi
yang diajarkannya dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu,
hasil pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan
mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. Proses
pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
Pembelajaran Kontekstual adalah
suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa
secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya
dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat
menerapkannya dalam kehidupan meraka (Sanjaya, 2005:109).
Dari konsep tersebut ada tiga hal yang harus kita pahami. Pertama,
Pembelajaran Kontekstual menekankan
kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi. Artinya, proses
belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar
dalam konteks Pembelajaran Kontekstual
tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, tetapi yang
diutamakan adalah proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.
Kedua, Pembelajaran Kontekstual mendorong agar siswa dapat menemukan
hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata. Artinya,
siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di
sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting sebab dengan dapat
mengkorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, materi yang
dipelajarinya itu akan bermakna secara fungsional dan tertanam erat dalam
memori siswa sehingga tidak akan mudah terlupakan.
Ketiga, Pembelajaran Kontekstual
mendorong siswa untuk dapat menerapkan pengetahuannya dalam kehidupan.
Artinya, Pembelajaran Kontekstual tidak
hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, tetapi
bagaimana materi itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.
Materi pelajaran dalam konteks Pembelajaran Kontekstual tidak untuk ditumpuk di
otak dan kemudian dilupakan, tetapi sebagai bekal bagi mereka dalam kehidupan
nyata.
Terdapat
lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan
pendekatan Kontekstual:
a.
Dalam Pembelajaran Kontekstual pembelajaran merupa kan proses pengaktifan pengetahuan yang
sudah ada (activing knowledge). Artinya, apa yang akan dipelajari
tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari. Dengan demikian,
pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang
memiliki keterkaitan satu sama lain.
b.
Pembelajaran yang kontekstual adalah pembelajaran dalam rangka memperoleh
dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge).
Pengetahuan baru itu dapat diperoleh dengan cara deduktif. Artinya,
pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan kemudian
memperhatikan detailnya.
c.
Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge) berarti pengetahuan yang
diperoleh bukan untuk dihafal, melainkan untuk dipahami dan diyakini.
d.
Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge). Artinya, pengetahuan dan
pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
e.
Melakukan refleksi (reflecting knowledge)
terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan
balik untuk proses perbaikan dan penyempurnaan strategi.
Di sisi
lain, Hernowo (2005:93) menawarkan langkah-langkah praktis menggunakan strategi
pebelajaran Kontekstual/Contextual Teaching Learning.
a.
Kaitkan setiap mata pelajaran dengan seorang tokoh yang sukses dalam
menerapkan mata pelajaran tersebut.
b.
Kisahkan terlebih dahulu riwayat hidup sang tokoh atau temukan cara-cara
sukses yang ditempuh sang tokoh dalam menerapkan ilmu yang dimilikinya.
c.
Rumuskan dan tunjukkan manfaat yang jelas dan spesifik kepada anak didik
berkaitan dengan ilmu (mata pelajaran) yang diajarkan kepada mereka.
d.
Upayakan agar ilmu-ilmu yang dipelajari di sekolah dapat memotivasi anak
didik untuk mengulang dan mengaitkannya dengan kehidupan keseharian mereka.
e.
Berikan kebebasan kepada setiap anak didik untuk mengkonstruksi ilmu yang
diterimanya secara subjektif sehingga anak didik dapat menemukan sendiri cara
belajar alamiah yang cocok dengan dirinya.
f.
Galilah kekayaan emosi yang ada pada diri setiap anak didik dan biarkan
mereka mengekspresikannya dengan bebas.
g.
Bimbing mereka untuk menggunakan emosi dalam setiap pembelajaran sehingga
anak didik penuh arti (tidak sia-sia dalam belajar di sekolah).
4.
Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing (Discovery Learning)
Discovery
Learning adalah proses belajar yang di dalamnya tidak
disajikan suatu konsep dalam bentuk jadi (final), tetapi siswa dituntut
untuk mengorganisasi sendiri cara belajarnya dalam menemukan konsep.
Sebagaimana pendapat Bruner, bahwa: “Discovery Learning can be defined as the
learning that takes place when the student is not presented with subject matter
in the final form, but rather is required to organize it him self” (Lefancois
dalam Emetembun, 1986:103). Dasar ide Bruner ialah pendapat dari Piaget yang
menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam belajar di kelas.
Bruner memakai metode yang disebutnya Discovery Learning, di mana murid
mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir (Dalyono,
1996:41). Metode Discovery Learning adalah memahami konsep, arti, dan hubungan,
melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan
(Budiningsih, 2005:43). Discovery terjadi bila individu terlibat, terutama
dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip.
Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi,
penentuan dan inferi. Proses tersebut disebut cognitive process sedangkan
discovery itu sendiri adalah the mental process of assimilatig conceps and
principles in the mind (Robert B. Sund dalam Malik, 2001:219).
Dalam Konsep Belajar, sesungguhnya metode Discovery Learning merupakan
pembentukan kategori-kategori atau konsep-konsep, yang dapat memungkinkan
terjadinya generalisasi. Sebagaimana teori Bruner tentang kategorisasi yang
nampak dalam Discovery, bahwa Discovery adalah pembentukan kategori-kategori,
atau lebih sering disebut sistem-sistem coding. Pembentukan kategori-kategori
dan sistem-sistem coding dirumuskan demikian dalam arti relasi-relasi
(similaritas & difference) yang terjadi diantara obyek-obyek dan
kejadian-kejadian (events).
Bruner memandang bahwa suatu konsep atau kategorisasi memiliki lima
unsur, dan siswa dikatakan memahami suatu konsep apabila mengetahui semua unsur
dari konsep itu, meliputi: 1) Nama; 2) Contoh-contoh baik yang positif maupun
yang negatif; 3) Karakteristik, baik yang pokok maupun tidak; 4) Rentangan
karakteristik; 5) Kaidah (Budiningsih, 2005:43). Bruner menjelaskan bahwa
pembentukan konsep merupakan dua kegiatan mengkategori yang berbeda yang
menuntut proses berpikir yang berbeda pula. Seluruh kegiatan mengkategori
meliputi mengidentifikasi dan menempatkan contoh-contoh (obyek-obyek atau
peristiwa-peristiwa) ke dalam kelas dengan menggunakan dasar kriteria tertentu.
Di dalam proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap
siswa, dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk menunjang
proses belajar perlu lingkungan memfasilitasi rasa ingin tahu siswa pada tahap
eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan Discovery Learning Environment, yaitu
lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang
belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui.
Lingkungan seperti ini bertujuan agar siswa dalam proses belajar dapat berjalan
dengan baik dan lebih kreatif.
Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus
berdasarkan pada manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan
kognitif siswa. Manipulasi bahan pelajaran bertujuan untuk memfasilitasi
kemampuan siswa dalam berpikir (merepresentasikan apa yang dipahami) sesuai
dengan tingkat perkembangannya.
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga
tahap yang ditentukan oleh bagaimana cara lingkungan, yaitu: enactive, iconic,
dan symbolic. Tahap enaktive, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam
upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya, artinya, dalam memahami dunia
sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan,
sentuhan, pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic, seseorang memahami
objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal.
Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk
perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi). Tahap symbolic, seseorang
telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat
dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia
sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan
sebagainya.
Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak simbol. Semakin matang
seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Secara
sederhana teori perkembangan dalam fase enactive, iconic dan symbolic adalah
anak menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia bergeser ke depan atau kebelakang
di papan mainan untuk menyesuaikan beratnya dengan berat temannya bermain) ini
fase enactive. Kemudian pada fase iconic ia menjelaskan keseimbangan pada
gambar atau bagan dan akhirnya ia menggunakan bahasa untuk menjelaskan prinsip
keseimbangan ini fase symbolic (Syaodih, 85:2001).
Dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning guru berperan sebagai
pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara
aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan
belajar siswa sesuai dengan tujuan (Sardiman, 2005:145). Kondisi seperti ini
ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student
oriented.
Hal yang menarik dalam pendapat Bruner yang menyebutkan: hendaknya guru
harus memberikan kesempatan muridnya untuk menjadi seorang problem solver,
seorang scientis, historin, atau ahli matematika. Dalam metode Discovery
Learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk
melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan,
mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta
membuat kesimpulan-kesimpulan.
Langkah-langkah
model pembelajaran penemuan terbimbing (discovery
learning) adalah sebagai berikut:
a.
Merumuskan
masalah yang akan diberikan kepada siswa dengan data secukupnya. Perumusaannya
harus jelas dan hilangkan pernyataan yang multi tafsir
b.
Berdasarkan
data yang diberikan guru, siswa menyusun, memproses, mengorganisir, dan
menganlisis data tersebut. Dalam hal ini bimbingan guru dapat diberikan sejauh
yang diperlukan saja bimbingan lebih mengarah kepada langkah yang hendak
dituju, melalui pertanyaan-pertanyaan.
c.
Siswa
menyusun prakiraan dari hasil analisis yang dilakukannya
d.
Bila
dipandang perlu, prakiraan yang telah dibuat siswa tersebut hendaknya diperiksa
oleh guru. Hal ini penting dilakukan untuk meyakinkan kebenaran prakiraan
siswa, sehingga akan menuju arah yang hendak dicapai.
e.
Apabila
telah diperoleh kepastian tentang kebenaran prakiraan tersebut, maka verbalisasi
prakiraan sebaiknya disrahkan juga kepada siswa untuk menyusunnya. Disamping
itu perlu diingat pula bahwa induksi tidak menjamin 100% kebenaran prakiraan.
f.
Sesudah
siswa menemukan apa yang dicari, hendaknya guru menyediakan soal latihan atau soal
tambahan untuk memeriksa apakah hasil penemuan itu benar.
5.
Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
Model pembelajaran berbasis masalah adalah pendekatan pembelajaran yang
menggunakan masalah sebagai langkah awal untuk mendapatkan pengetahuan baru.
Seperti yang diungkapkan oleh Suyatno (2009 : 58) bahwa: ”Model pembelajaran
berdasarkan masalah adalah proses pembelajaran yang titik awal pembelajaran
dimulai berdasarkan masalah dalam kehidupan nyata siswa dirangsang untuk
mempelajari masalah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman telah mereka miliki
sebelumnya (prior knowledge) untuk membentuk pengetahuan dan pengalaman baru”.
Sedangkan menurut Arends (dalam Trianto 2007 : 68) menyatakan bahwa: ”Model
pembelajaran berdasarkan masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran di
mana siswa mengerjakan permasalahan yang autentik dengan maksud untuk menyusun
pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir
tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri”. Model
pembelajaran berdasarkan masalah juga mengacu pada model pembelajaran yang lain
seperti yang diungkapkan oleh diungkapkan oleh Trianto (2007 : 68) : ”Model
pembelajaran berdasarkan masalah) mengacu pada Pembelajaran Proyek (Project
Based Learning), Pendidikan Berdasarkan Pengalaman (Experience Based
Education), Belajar Autentik (Autentic
Learning), Pembelajaran Bermakna (Anchored Instruction)”.
Berbagai
pengembang menyatakan bahwa ciri
utama model pembelajaran berdasarkan
masalah ini dalam Trianto (2007 : 68) adalah
a.
Pengajuan
pertanyaan atau masalah.
Guru
memunculkan pertanyaan yang nyata di lingkungan siswa serta dapat diselidiki
oleh siswa kepada masalah yang autentik ini dapat berupa cerita, penyajian
fenomena tertentu, atau mendemontrasikan suatu kejadian yang mengundang
munculnya permasalahan atau pertanyaan.
b.
Berfokus
pada keterkaitan antar disiplin.
Meskipun
pembelajaran berdasarkan masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu
(IPA, matematika, ilmu-ilmu sosial) masalah yang dipilih benar-benar nyata agar
dalam pemecahannya, siswa dapat meninjau dari berbagi mata pelajaran yang lain.
c.
Penyelidikan
autentik.
Pembelajaran
berdasarkan masalah mengharuskan siswa melakukan penyelidikan autentik untuk
mencari penyelesaian nyata terhadap masalah yang disajikan. Metode penyelidikan
ini bergantung pada masalah yang sedang dipelajari.
d.
Menghasilkan
produk atau karya.
Pembelajaran
berdasarkan masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam
bentuk karya dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian
masalah yang mereka temukan. Produk itu dapat juga berupa laporan, model fisik,
video maupun program komputer
e. Kolaborasi.
Pembelajaran
berdasarkan masalah dicirikan oleh siswa yang bekerja sama satu dengan yang
lainnya, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil.
Bekerjasama untuk terlibat dan saling bertukar pendapat dalam melakukan
penyelidikan sehingga dapat
menyelesaikan permasalahan yang disajikan.
Pada Model pembelajaran
berdasarkan masalah terdapat lima tahap utama yang dimulai dengan
memperkenalkan siswa tehadap masalah yang diakhiri dengan tahap penyajian dan
analisis hasil kerja siswa. Kelima tahapan tersebut disajikan dalam bentuk
tabel (dalam Nurhadi, 2004:111)
Tabel
2.1 Sintaks Model pembelajaran berdasarkan masalah
Fase
|
Indikator
|
Aktifitas / Kegiatan
Guru
|
1
|
Orientasi siswa kepada masalah
|
Guru menjelaskan tujuan
pembelajaran, menjelaskan logistikyang diperlukan, pengajuan masalah,
memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.
|
2
|
Mengorganisasikan siswa untuk belajar
|
Guru membantu siswa mendefenisikan dan mengorganisasikan tugas belajar
yang berhubungan dengan masalah tersebut.
|
3
|
Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
|
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai,
melaksanakan eksperimen, untuk mendapat penjelasan pemecahan masalah.
|
4
|
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
|
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai
seperti laporan, video, model dan membantu mereka untuk berbagai tugas dengan
kelompoknya.
|
5
|
Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
|
Guru membantu siswa melakukan refleksi atau evaluasi terhadap
penyelidikan mereka dalam proses-proses yang mereka gunakan.
|
6.
Model
Pembelajaran Berbasis Proyek (Project
Based Learning)
Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning=PjBL) adalah metoda pembelajaran yang
menggunakan proyek/kegiatan sebagai media. Peserta didik melakukan eksplorasi,
penilaian, interpretasi, sintesis, dan informasi untuk menghasilkan berbagai
bentuk hasil belajar.
Pembelajaran Berbasis Proyek merupakan metode
belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan
mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktifitas
secara nyata. Pembelajaran Berbasis Proyek dirancang untuk digunakan pada
permasalahan komplek yang diperlukan peserta didik dalam melakukan insvestigasi
dan memahaminya.
Melalui PjBL,
proses inquiry dimulai dengan
memunculkan pertanyaan penuntun (a
guiding question) dan membimbing peserta didik dalam sebuah proyek
kolaboratif yang mengintegrasikan berbagai subjek (materi) dalam kurikulum.
Pada saat pertanyaan terjawab, secara langsung peserta didik dapat melihat
berbagai elemen utama sekaligus berbagai prinsip dalam sebuah disiplin yang
sedang dikajinya. PjBL merupakan
investigasi mendalam tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga
bagi atensi dan usaha peserta didik.
Mengingat bahwa masing-masing peserta didik
memiliki gaya belajar yang berbeda, maka Pembelajaran Berbasis Proyek
memberikan kesempatan kepada para peserta didik untuk menggali konten (materi)
dengan menggunakan berbagai cara yang bermakna bagi dirinya, dan melakukan
eksperimen secara kolaboratif. Pembelajaran Berbasis Proyek merupakan
investigasi mendalam tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga
bagi atensi dan usaha peserta didik.
Pembelajaran Berbasis Proyek dapat dikatakan
sebagai operasionalisasi konsep “Pendidikan Berbasis Produksi” yang
dikembangkan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). SMK sebagai institusi yang
berfungsi untuk menyiapkan lulusan untuk bekerja di dunia usaha dan industri
harus dapat membekali peserta didiknya dengan “kompetensi terstandar” yang
dibutuhkan untuk bekerja dibidang masing-masing. Dengan pembelajaran “berbasis
produksi” peserta didik di SMK diperkenalkan dengan suasana dan makna kerja
yang sesungguhnya di dunia kerja. Dengan demikian model pembelajaran yang cocok untuk SMK adalah pembelajaran
berbasis proyek.
Pembelajaran Berbasis Proyek
memiliki karakteristik sebagai berikut:
a.
peserta didik membuat keputusan tentang sebuah kerangka kerja;
b.
adanya permasalahan atau tantangan yang diajukan kepada peserta didik;
c.
peserta didik mendesain proses untuk menentukan solusi atas permasalahan
atau tantangan yang diajukan;
d.
peserta didik secara kolaboratif bertanggungjawab untuk mengakses dan
mengelola informasi untuk memecahkan permasalahan;
e.
proses evaluasi dijalankan secara kontinyu;
f.
peserta didik secara berkala melakukan refleksi atas aktivitas yang
sudah dijalankan;
g.
produk akhir aktivitas belajar akan dievaluasi secara kualitatif; dan
h.
situasi pembelajaran sangat toleran terhadap kesalahan dan perubahan.
Peran instruktur atau guru dalam Pembelajaran
Berbasis Proyek sebaiknya sebagai fasilitator, pelatih, penasehat dan
perantara untuk mendapatkan hasil yang optimal sesuai dengan daya imajinasi,
kreasi dan inovasi dari siswa.
Beberapa hambatan dalam implementasi metode Pembelajaran Berbasis Proyek antara lain berikut ini.
a.
Pembelajaran Berbasis Proyek memerlukan
banyak waktu yang harus disediakan untuk menyelesaikan permasalahan yang
komplek.
b.
Banyak
orang tua peserta didik yang merasa dirugikan, karena menambah biaya untuk
memasuki system baru.
c.
Banyak
instruktur merasa nyaman dengan kelas tradisional ,dimana instruktur memegang
peran utama di kelas. Ini merupakan suatu transisi yang sulit, terutama bagi
instruktur yang kurang atau tidak menguasai teknologi.
d. Banyaknya peralatan yang harus disediakan, sehingga
kebutuhan listrik bertambah.
Untuk itu disarankan menggunakan team
teaching dalam proses pembelajaran, dan akan lebih menarik lagi jika
suasana ruang belajar tidak monoton, beberapa contoh perubahan lay-out ruang kelas, seperti: traditional class (teori), discussion group (pembuatan konsep dan
pembagian tugas kelompok), lab tables (saat mengerjakan tugas mandiri), circle (presentasi). Buatlah suasana
belajar menyenangkan, bahkan saat diskusi dapat dilakukan di taman, artinya
belajar tidak harus dilakukan di dalam ruang kelas.
COMMENTS